Chaer (2003:30) menyebutkan bahwa bahasa adalah alat verbal
untuk komunikasi. Sebelumnya (1994), ia menegaskan bahwa bahasa sebagai “suatu
lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh sekelompok anggota
masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri”.
Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga
termasuk adat istiadat (KBBI: 2005:169). Dengan demikian, budaya dapat
diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pikiran atau pemikiran. Maka
tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan
timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran di sini dimaksudkan sebagai sebuah
perwujudan kebudayaan.
Para ahli sepakat bahwa bahasa adalah “alat” dalam
berkomunikasi, sebagai alat tentunya ada yang menggunakan alat tersebut
sehingga ia dapat dimanfaatkan (sebagai komunikasi). Dalam hal ini pengguna
atau pemanfaat bahasa adalah manusia (terlepas kajian ada tidaknya bahasa juga
digunakan oleh hewan) yang selanjutnya disebut sebagai penutur. Orang atau
manusia yang mendengar atau yang menjadi lawan penutur disebut dengan “lawan
tutur” atau “pendengar” atau “lawan bicara”. Dalam interaksi antara penutur dan
lawan tutur inilah timbul beberapa perilaku berdasarkan pemikiran masing-masing
sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya. Budaya dan kebiasaan ini akan berbeda
tergantung siapa dan di mana bahasa atau pengguna bahasa itu berada.
Dalam interaksi sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa
apa yang kita ucapkan atau kita sampaikan kepada lawan bicara tidak bisa
dipahami dengan baik. Kegagalan memahami pesan ini disebabkan beberapa faktor,
antara lain: beda usia, beda pendidikan, beda pengetahuan, dan lain-lain.
Selain itu, faktor budaya juga berhubungan dengan bahasa (Hodgson:1990:169).
Kata “Kamu” dan “Kau” misalnya, diucapkan berbeda dalam konteks budaya berbeda.
Sebutan “Bapak” di negara yang menggunakan bahasa pengantarnya adalah bahasa
Inggris tidak cenderung digunakan. Masyarakat penutur bahasa Inggris akan
langsung menggunakan sebutan nama diri/nama orang kepada lawan bicara yang
lebih tua sekalipun. Hal yang wajar bagi masyarakat penutur bahasa Inggris ini
tentu saja tabu jika dipakai oleh penutur bahasa Melayu atau Indonesia. Bahkan,
akan lebih tabu lagi jika dipakai dalam masyarakat Aceh yang terkenal kental
adat istiadatnya dalam menghormati orang lebih tua.
Pemilihan kata-kata yang sesuai untuk kepentingan interaksi
sosial sangat tergantung kepada budaya tempat bahasa itu digunakan. Ini sejalan
dengan apa yang dikemukan oleh Sumarjan & Partana
(lidahtinda.wordpress.com:2009) bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk
sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
kebudayaan itu. Sebagai produk sosial atau budaya tertentu, bahasa merupakan
wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan
budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu.
Bahasa bisa dianggap sebagai cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu
masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat, tergantung kultur
daerah yang bersangkutan.
Bahasa sebagai hasil budaya atau kultur mengandung
nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam bahasa Bali misalnya, terdapat
ungkapan berbunyi Da ngaden awak bisa ‘jangan menganggap diri ini mampu’
mengandung nilai ajaran agar orang jangan merasa mampu; yang kira-kira senada
dengan ungkapan dalam bahasa Jawa, rumongso biso, nanginging ora biso
rumongso ‘merasa mampu, tetapi tidak mampu merasakan apa yang dirasakan
orang lain’. Dalam bahasa Aceh pun ada ungkapan ubiet takalon geuhön tatijik
‘kecil kita lihat, (tapi) berat dijinjing. Bahasa-bahasa (ungkapan)
tersebut memiliki ciri khas budaya masing-masing penuturnya yang tak pula
terlepas dari konteks.
Dede Oetomo (Sumarsono dan Partana, 2002:336) menyebutkan bahwa bahasa juga dapat
mempengaruhi kelompok. Anggapan ini berdasarkan pengamatannya terhadap etnik
Cina di Pasuruan dengan melihat tutur masyarakat Cina di sana sehari-hari. Ia
berkesimpulan bahwa masyarakat Cina dapat dikelompokkan menjadi Cina Totok
dan Cina Peranakan. Ini menunjukkan bahwa bahasa itu dapat mencerminkan
identitas kelompok. Bahasa yang tidak dapat terlepas dari budaya juga
dibuktikan oleh Blom dan Gumperz (Sumarsono dan Partana, 2002:338). Berdasarkan
penelitiannya pada tahun 1972 terhadap sebuah guyup di Norwegia yang
menggunakan dialek lokal dan ragam regional bokmal (satu dari dua ragam
baku bahasa Norwegia) terbukti bahwa masyarakat pengguna dialek masing-masing
itu mengalami perbedaan penyampaian bahasa sebagai media komunikasi, terutama
saat sampai pada di mana dan tujuan komunikatif apa mereka menggunakan bahasa
tersebut. Ada bentuk-bentuk tertentu yang digunakan para penutur dari kedua
dialek berbeda itu dalam menandai inferensi (simpulan) tak langsung terhadap
komunikasinya, yang hanya dapat dipahami oleh penutur dari dialek tersebut.
Dalam kaitannya dengan bahasa dan budaya, ada beberapa teori
yang muncul, antara lain;
a.
Teori Wilhelm
Von Humboldt
Teori ini dikemukakan oleh Wilhelm Von
Humboldt, seorang sarjana Jerman abad ke-19 yang sangat terkenal. Inti teorinya
adalah manusia sebagai makhluk sosial berkomunikasi, bersikap, dan
berperilaku sebagai presepsinya. Dan proses itu menyatu antara bahasa dan
persepsinya. Von Humboldt menekankan ketergantungan manusia pada bahasa.
Demikian juga kaitannya dengan budaya, semakin dikenal dan dipahami bahasanya
semakin baik juga identitas dirinya.
Menurut Von Humboldt, substansi bahasa
terdiri atas sebagian bunyi-bunyi dan sebagian pikiran yang belum terbetuk.
Bunyi-bunyi dibentuk oleh Lautform dan pikiran-pikiran dibentuk oleh
Ideenform/Innereform. Jadi, menurut Von Humboldt, bahasa adalah suatu sintetis
dari kedua bentuk ini yaitu bentuk bunyi (Luatform) dan bentuk pikiran
(Ideenform) (Simanjuntak, 1983:244).
b.
Teori Revalitas
Linguistik dari Sapir dan Whorf
Edward Sapir (1884-1939) adalah seorang
sarjana Amerika yang meneliti hubungan bahasa dan berpikir. Sapir mengatakan
bahwa manusia hidup di dunia ini karena belas kasihan bahasanya yang telah
menjadi alat pengantar dalam masyarakatnya. Lebih lanjut Sapir mengatakan bahwa
budaya masyarakat sebagian besar dibentuk dari perilaku bahasa masyarakatnya
(Sapir, 1921: 162). Oleh karena itu, Sapir menyatakan bahwa bahasa adalah suatu
pedoman bagi suatu realitas sosial. Bahasa juga sudah menentukan
pilihan-pilihan interpretasi tertentu terlebih dahulu.
Benyamin Lee Whorf (1897-1941) seorang
murid Sapir, setelah banyak meneliti bahasa Suku Indian, seperti bahasa Aztec
di Mexico dan terutama bahasa Hopi di California yang dihubungkannya dengan
pengalamannya sewaktu dulu ia bekerja sebagai pakar pencegah kebakaran di
sebuah kilang. Mendapati dasar untuk menolak pandangan klasik tentang hubungan
bahasa dan berpikir.
Whorf menyatakan bahasa yang menentukan pikiran seseorang itu kadangkala dapat berakibat pada bahasa seseorang. Setelah melakukan penelitian terhadap
bahasa Hopi, Whorf merumuskan suatu hipotesis yang sangat terkenal yaitu teori
relativitas linguistik atau hipotesis Whorf atau hipotesis Sapir – Whorf. Inti
teori relativitas ini adalah para peneliti tidaklah dibimbing oleh bukti
fisik yang sama untuk mendapatkan gambaran- gambaran hidup yang sama, kecuali
latar belakang linguistik mereka sama atau dapat disamakan dengan satu cara.
Bahasa-bahasa yang berbeda mengkaji alam ini dengan cara-cara yang berlainan,
sehingga terciptalah suatu relativitas sistem-sistem konsep yang berlainan pula
tergantung pada bahasa yang beragam itu. Tatabahasa suatu bahasa tidak hanya
merupakan alat penyampai ide semata tetapi merupakan pembentuk ide.
Tatabahasalah yang menentukan jalan pikiran seseorang bukan kata-katanya (Simanjuntak,
1983:245-246).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar