Photobucket

Selasa, 29 Mei 2012

HUBUNGAN BAHASA DAN BUDAYA


Chaer (2003:30) menyebutkan bahwa bahasa adalah alat verbal untuk komunikasi. Sebelumnya (1994), ia menegaskan bahwa bahasa sebagai “suatu lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri”.
         Bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini menyebutkan bahwa dalam penggunaannya bahasa (language in use) merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Dalam bahasa Brown dan Yule, hal ini disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada kebiasaan dan kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai media/alat berkomunikasi.
Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat (KBBI: 2005:169). Dengan demikian, budaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pikiran atau pemikiran. Maka tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran di sini dimaksudkan sebagai sebuah perwujudan kebudayaan.
Para ahli sepakat bahwa bahasa adalah “alat” dalam berkomunikasi, sebagai alat tentunya ada yang menggunakan alat tersebut sehingga ia dapat dimanfaatkan (sebagai komunikasi). Dalam hal ini pengguna atau pemanfaat bahasa adalah manusia (terlepas kajian ada tidaknya bahasa juga digunakan oleh hewan) yang selanjutnya disebut sebagai penutur. Orang atau manusia yang mendengar atau yang menjadi lawan penutur disebut dengan “lawan tutur” atau “pendengar” atau “lawan bicara”. Dalam interaksi antara penutur dan lawan tutur inilah timbul beberapa perilaku berdasarkan pemikiran masing-masing sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya. Budaya dan kebiasaan ini akan berbeda tergantung siapa dan di mana bahasa atau pengguna bahasa itu berada.
Dalam interaksi sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau kita sampaikan kepada lawan bicara tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan memahami pesan ini disebabkan beberapa faktor, antara lain: beda usia, beda pendidikan, beda pengetahuan, dan lain-lain. Selain itu, faktor budaya juga berhubungan dengan bahasa (Hodgson:1990:169). Kata “Kamu” dan “Kau” misalnya, diucapkan berbeda dalam konteks budaya berbeda. Sebutan “Bapak” di negara yang menggunakan bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris tidak cenderung digunakan. Masyarakat penutur bahasa Inggris akan langsung menggunakan sebutan nama diri/nama orang kepada lawan bicara yang lebih tua sekalipun. Hal yang wajar bagi masyarakat penutur bahasa Inggris ini tentu saja tabu jika dipakai oleh penutur bahasa Melayu atau Indonesia. Bahkan, akan lebih tabu lagi jika dipakai dalam masyarakat Aceh yang terkenal kental adat istiadatnya dalam menghormati orang lebih tua.
Pemilihan kata-kata yang sesuai untuk kepentingan interaksi sosial sangat tergantung kepada budaya tempat bahasa itu digunakan. Ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Sumarjan & Partana (lidahtinda.wordpress.com:2009) bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial atau budaya tertentu, bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa bisa dianggap sebagai cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat, tergantung kultur daerah yang bersangkutan.
Bahasa sebagai hasil budaya atau kultur mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam bahasa Bali misalnya, terdapat ungkapan berbunyi Da ngaden awak bisa ‘jangan menganggap diri ini mampu’ mengandung nilai ajaran agar orang jangan merasa mampu; yang kira-kira senada dengan ungkapan dalam bahasa Jawa, rumongso biso, nanginging ora biso rumongso ‘merasa mampu, tetapi tidak mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain’. Dalam bahasa Aceh pun ada ungkapan ubiet takalon geuhön tatijik ‘kecil kita lihat, (tapi) berat dijinjing. Bahasa-bahasa (ungkapan) tersebut memiliki ciri khas budaya masing-masing penuturnya yang tak pula terlepas dari konteks.
Dede Oetomo (Sumarsono dan Partana, 2002:336)  menyebutkan bahwa bahasa juga dapat mempengaruhi kelompok. Anggapan ini berdasarkan pengamatannya terhadap etnik Cina di Pasuruan dengan melihat tutur masyarakat Cina di sana sehari-hari. Ia berkesimpulan bahwa masyarakat Cina dapat dikelompokkan menjadi Cina Totok dan Cina Peranakan. Ini menunjukkan bahwa bahasa itu dapat mencerminkan identitas kelompok. Bahasa yang tidak dapat terlepas dari budaya juga dibuktikan oleh Blom dan Gumperz (Sumarsono dan Partana, 2002:338). Berdasarkan penelitiannya pada tahun 1972 terhadap sebuah guyup di Norwegia yang menggunakan dialek lokal dan ragam regional bokmal (satu dari dua ragam baku bahasa Norwegia) terbukti bahwa masyarakat pengguna dialek masing-masing itu mengalami perbedaan penyampaian bahasa sebagai media komunikasi, terutama saat sampai pada di mana dan tujuan komunikatif apa mereka menggunakan bahasa tersebut. Ada bentuk-bentuk tertentu yang digunakan para penutur dari kedua dialek berbeda itu dalam menandai inferensi (simpulan) tak langsung terhadap komunikasinya, yang hanya dapat dipahami oleh penutur dari dialek tersebut.
Dalam kaitannya dengan bahasa dan budaya, ada beberapa teori yang muncul, antara lain;
a. Teori Wilhelm Von Humboldt
Teori ini dikemukakan oleh Wilhelm Von Humboldt, seorang sarjana Jerman abad ke-19 yang sangat terkenal. Inti teorinya adalah manusia sebagai makhluk sosial berkomunikasi, bersikap, dan berperilaku sebagai presepsinya. Dan proses itu menyatu antara bahasa dan persepsinya. Von Humboldt menekankan ketergantungan manusia pada bahasa. Demikian juga kaitannya dengan budaya, semakin dikenal dan dipahami bahasanya semakin baik juga identitas dirinya.
Menurut Von Humboldt, substansi bahasa terdiri atas sebagian bunyi-bunyi dan sebagian pikiran yang belum terbetuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh Lautform dan pikiran-pikiran dibentuk oleh Ideenform/Innereform. Jadi, menurut Von Humboldt, bahasa adalah suatu sintetis dari kedua bentuk ini yaitu bentuk bunyi (Luatform) dan bentuk pikiran (Ideenform) (Simanjuntak, 1983:244).
b. Teori Revalitas Linguistik dari Sapir dan Whorf
Edward Sapir (1884-1939) adalah seorang sarjana Amerika yang meneliti hubungan bahasa dan berpikir. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini karena belas kasihan bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam masyarakatnya. Lebih lanjut Sapir mengatakan bahwa budaya masyarakat sebagian besar dibentuk dari perilaku bahasa masyarakatnya (Sapir, 1921: 162). Oleh karena itu, Sapir menyatakan bahwa bahasa adalah suatu pedoman bagi suatu realitas sosial. Bahasa juga sudah menentukan pilihan-pilihan interpretasi tertentu terlebih dahulu.
Benyamin Lee Whorf (1897-1941) seorang murid Sapir, setelah banyak meneliti bahasa Suku Indian, seperti bahasa Aztec di Mexico dan terutama bahasa Hopi di California yang dihubungkannya dengan pengalamannya sewaktu dulu ia bekerja sebagai pakar pencegah kebakaran di sebuah kilang. Mendapati dasar untuk menolak pandangan klasik tentang hubungan bahasa dan berpikir.
Whorf menyatakan bahasa yang menentukan pikiran seseorang itu kadangkala dapat berakibat pada bahasa seseorang. Setelah melakukan penelitian terhadap bahasa Hopi, Whorf merumuskan suatu hipotesis yang sangat terkenal yaitu teori relativitas linguistik atau hipotesis Whorf atau hipotesis Sapir – Whorf. Inti teori relativitas ini adalah para peneliti tidaklah dibimbing oleh bukti fisik yang sama untuk mendapatkan gambaran- gambaran hidup yang sama, kecuali latar belakang linguistik mereka sama atau dapat disamakan dengan satu cara. Bahasa-bahasa yang berbeda mengkaji alam ini dengan cara-cara yang berlainan, sehingga terciptalah suatu relativitas sistem-sistem konsep yang berlainan pula tergantung pada bahasa yang beragam itu. Tatabahasa suatu bahasa tidak hanya merupakan alat penyampai ide semata tetapi merupakan pembentuk ide. Tatabahasalah yang menentukan jalan pikiran seseorang bukan kata-katanya (Simanjuntak, 1983:245-246).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...